Selasa, 17 Mei 2011

Masih takutkah untuk bermimpi?

12 Maret 1990
 Matahari mulai menenggelamkan sinarnya. Rintik-rintik air berjatuhan setetes demi setetes membasahi kaca dihadapanku. Sore itu, sebuah rumah sakit tempat aku bekerja menjadi saksi bisu akan lahirnya seorang bayi. Panggil saja dia dengan sebutan “Samudera”. Bayi yang tampan, rupawan dan terlihat sempurna. Tapi ternyata dia tidak sama dengan bayi yang lainnya. Ya, bayi itu mempunyai kelainan yang..... mungkin semua orang akan beranggapan bahwa dia tidak akan hidup lama.

Sayup-sayup kudengar percakapan dokter dengan orangtua dari Samudera itu. “Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tuturnya dengan lembut sambil menggendong Samudera di dekapannya. “Maaf sebelumnya Bu, tapi saya rasa anak ibu tidak akan bertahan lama” seketika akupun mendengar Samudera menangis.

“Mengapa? Mengapa dia bisa menangis tepat setelah dokter mengatakan hal itu? Apa dia mengerti?”  pikirku. “Bisa saja dia selamat, tetapi besar kemungkinannya anak itu menderita cacat mental” tutur sang dokter melanjutkan kalimatnya. Samuderapun menangis semakin kencang seolah ia tidak setuju dengan apa yang dikatakan dokter.

Aku melanjutkan  pekerjaanku, merawat bayi-bayi yang baru lahir. Terdengar suara pintu terbuka. Ternyata ayahnya Samudera. Dia meletakkan Samudera di ranjang tidurnya dan tersenyum kepadaku.

Melihat ia tertidur pulas, terlihat seperti tidak ada beban yang memberatkan hatinya. “Suatu saat kelak, kau akan menjadi seseorang. Seseorang yang membanggakan mamamu, papamu, dan tentunya.... aku” ucapku sambil menunggunya tidur. Seketika, tangan kecil Samudera menggenggam jariku seolah ia ingin berkata “ya, aku berjanji”.

12 Maret 1994
Hari ini, genap 4 tahun Samudera menghabiskan waktunya di rumah sakit ini. Keadaannya sangat membaik meskipun tidak jarang penyakit yang dideritanya kambuh, tapi semangat dan senyum yang terpancar diwajahnya, membuatku merasakan bahwa dirinya dalam keadaan baik-baik saja. Menurutku, dia anak yang pintar. Bahkan, lebih pintar daripada anak-anak seusianya.
Dia senang menggambar, mewarna, menulis, membaca dan bernyanyi. Sore itu, aku menemani Samudera mewarnai buku warna mobil-mobilan kesayangannya. “Apakah suster punya lagu baru yang dapat aku nyanyikan sambil aku menyelesaikan buku warnaku?” tanyanya dengan riang. “terpujilah wahai engkau ibu, bapak guru, .....” entah mengapa saat itu aku mengajarkannya lagu itu. “Apa itu “guru” ?” tanyanya dengan polos, “seseorang yang akan sangat berjasa dalam hidupmu kelak” jawabku. “Sepertinya dia tidak terlalu menghiraukan perkataanku tadi” kataku dalam hati. Dia melanjutkan mewarnai buku warnanya sambil menyanyikan lagu yang baru dia ketahui tadi dengan riang, tanpa mengetahui bahwa malam ini adalah malam terakhir aku bersamanya.

                Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00, Samuderapun sudah terlelap di kasurnya. Sedih jika mengingat ini malam terakhirku melihatnya tertidur pulas di kasur. Diam-diam aku mengambil buku gambarnya dan merobek satu halaman untuk aku simpan.
Akhirnya, waktupun tiba. Setelah membereskan barang-barang Samudera, orangtuanyapun datang. Aku membangunkan Samudera yang sedang tertidur lelap dan mengantarkannya sampai ke pintu mobil.
“Jaga dirimu baik-baik, tak peduli apa yang akan menghadangmu diluar sana, tetaplah bermimpi setinggi langit dan seluas samudera. Seluas Samudera.” Kataku sebelum Samudera naik ke mobil. Dengan mata yang sayu, dia berkata “iya” sambil memelukku dan naik kedalam mobilnya. Lalu pergi.

                Setelah kepergiannya, aku hanya bisa melihat gambarnya, duduk disamping ranjang sewaktu dia bayi, dan merapikan sisa-sisa pensil warna yang sudah pendek.
Sesekali, Samudera mengirimkan gambaran terbarunya atau surat-surat kecil yang ia tulis dengan tulisannya sendiri.

Waktupun terus berlalu...

14 Juni 1996
Kudengar Samudera sudah masuk SD dan mampu menyesuaikan diri dengan teman-teman yang lain serta menjadi juara umum disekolahnya.

                26 Juni 2002
“Kini Samudera sudah menjadi murid SMP, usianya kini 12 tahun” pikirku. Tapi, kabar yang tidak diinginkan sampai ditelingaku. Samudera tidak ingin melanjutkan sekolahnya. Karena cacian dan ejekan yang dilontarkan teman-temannya kepadanya. Orangtuanya sangat khawatir akan kesehatannya.
Akupun membuat surat kecil untuk Samudera.

Samudera kecilku,
Masih adakah di ingatanmu peristiwa-peristiwa yang pernah kita alami bersama?
Tentang semua mimpimu yang kau ceritakan di malam hari hingga kau tertidur
Ingatkah dulu saat kau mengejar burung-burung di taman?
Mengapa tidak kau kejar mimpimu seperti halnya kau mengejar burung-burung itu?
Ingatkah dulu saat kau belajar berjalan dan terjatuh? Kau dapat berdiri sendiri saat itu
Mengapa tidak kau coba untuk berdiri sekali lagi demi mimpimu?
Ingatkah dulu saat kau menginginkan sebuah mainan baru? Kau terus berusaha sampai kau mendapatkannya
Mengapa tak kau lakukan hal seperti itu untuk menggapai mimpimu?
Dengarlah kata-kataku, seperti aku mendengar semua cerita tentang mimpimu.”

Sejak saat itu, Samudera tidak pernah mengirimkanku gambar atau membalas suratku. Apakah dia baik-baik saja? atau dia marah kepadaku? Tidak peduli bagaimanapun dia, aku tetap menyayanginya sama seperti Samudera yang dulu.

30 Februari 2015
Usiaku semakin tua. Pekerjaanku sebagai perawat dirumah sakit inipun sudah berakhir. Aku membereskan berkas-berkas dimeja kerjaku. Kumasukkan buku-buku, surat, dan kertas-kertas yang berserakan dimejaku.
“Slap” selembar kertas kecil usang jatuh disamping kakiku. Aku ambil kertas itu dan kulihat isinya. Ternyata sebuah gambaran sederhana yang dibuat oleh seorang anak. “Samudera kecil” kataku dalam hati. Aku masukkan kertas itu ke saku seragam kerjaku yang aku pakai untuk terakhir kalinya.
Semua berkas-berkas sudah selesai ku bereskan dan aku siap untuk meninggalkan rumah sakit ini. Rumah sakit tempat aku bekerja selama 40 tahun. Aku menyusuri berbagai tempat di rumah sakit itu, mengingat kenangan yang terpatri didalamnya.
Aku menyusuri lorong yang biasa aku telusuri dan aku terhenti didepan sebuah ruangan. Ruangan yang paling banyak menyimpan kenangan bagiku. Entah mengapa aku terdiam didepan ruangan itu seolah tidak rela untuk meninggalkan sejuta kenangan didalamnya. Aku terdiam.

                Seketika ada sesuatu yang menggenggam tanganku dari arah belakang. Ya, aku kenal tangan itu. Tangan yang pernah menggenggam jariku beberapa tahun lalu kini bisa menggenggam tanganku.
Aku langsung membalikkan tubuhku. Seorang pria tampan, tinggi dan memakai jas berwarna putih berada dihadapanku. “Terpujilah wahai engkau ibu, bapak guru” aku terkejut. Lagu itu adalah lagu yang pernah aku ajarkan kepada Samudera. “Sam..udera?” tanyaku. “Iya” jawabnya dengan nada persis seperti saat ia mengucapkan kata-kata terakhirnya. “Apakah aku sudah membuatmu bangga, guruku?” sambungnya. Bangga dan terharu membuatku tidak bisa berkata apa-apa. Aku mengeluarkan selembar kertas usang yang aku temui tadi, dan membukanya. Lagi-lagi aku terkejut saat melihatnya. Gambar yang ia buat sewaktu kecil adalah seorang dokter, persis dengan apa yang sekarang terjadi dalam dirinya.

                Kami berjalan menyusuri lorong sambil mengingat hal-hal yang pernah kita lalui bersama. Aku menunjukkan gambar itu kepadanya dan dia hanya tertawa kecil.

                Diapun berkata, “tahukah apa yang dapat membuatku menjadi seperti ini? Karena aku berani bermimpi dengan keterbatasanku.”

Dan kini aku mengerti bahwa bayi yang baru lahirpun mempunyai mimpi. Jadi, apa alasan kalian untuk tidak berani bermimpi? Kejarlah terus mimpimu tanpa peduli berapa kali kamu akan terjatuh, karena mimpi adalah awal hidupmu.
Nama    : Hanifa Affiani
Kelas     : X IPA 1
Absen   : 12